Rabu, 06 Mei 2009

VARISES

VARISES VENA TUNGKAI
PENDAHULUAN
Varises adalah vena normal yang mengalami dilatasi akibat pengaruh peningkatanan tekanan vena. Varises ini merupakan suatu manifestasi yang dari sindrom insufiensi vena dimana pada sindrom ini aliran darah dalam vena mengalami arah aliran retrograde atau aliran balik menuju tungkai yang kemudian mengalami kongesti.
Bentuk ringan dari insufisiensi vena hanya menunjukkan keluhan berupa perasaan yang tidak nyaman, menggangu atau penampilan secara kosmetik tidak enak, namun pada penyakit vena berat dapat menyebabkan respon sistemuk berat yang dapat menyebabkan kehilangan tungkai atau berakibat kematian.
Nyeri, kemerahan, rasa terbakar, gatal, kram, kelemahan otot dan “tungkai lemas” merupakan keluhan yang biasanya dikeluhkan oleh sebagian penderita dengan insufisiensi vena. Selanjutnya apabila telah terjadi insufisiensi vena yang kronis dapat memicu terjadinya kerusakan kulit dan jaringan lunak dibawahnya lebih lanjut yang dapat menyebabkan kerusakan lebih berat.
Keadaan insufisiensi vena kronis akhirnya akan menyebabkan terjadinya perubahan kronis kulit dan jaringan lunak yang dimulai dengan bengkak ringan. Perjalanan sindrom ini akhirnya akan menghasilkan perubahan warna kulit, dermatitis stasis, selulitis kronis atau rekuren, infark kulit, ulkus, dan degenerasi ganas. Komplikasi berat yang dapat muncul sebagai akibat dati insufisiensi vena dapat berupa ulkus pada tungkai yang kronis dan sulit menyembuh, phlebitis berulang, dan perdarahan yang berasal varises, dan hal ini dapat diatasi dengan penanganan dan koreksi pada insufisiensi vena itu sendiri.
Kematian dapat terjadi sebagai akibat dari perdarahan yang bersumber dari varises vena friabel, tapi kematian yang diakibat oleh varises vena paling dekat dihubungkan dengan adanya troboemboli vena sekunder. Pasien dengan varises vena mempunyai risiko tinggi mengalami trobosis vena profunda (deep vein thrombosis,DVT) karena menyebabkan gagguan aliran darah menjadi aliran darah statis yang sering menyebabkan phlebitis superfisial kemudian berlanjut menjadi perforasi pembuluh darah vena termasuk pembluluh darah vena profunda. Pada penatalaksaan penderita dengan varises vena perlu diperhatikan kemungkinan adanya DVT karena adanya tromboemboli yang tidak diketahui dan tidak diterapi akan meningkatkan terjadinya mortalitas sekitar 30-60%.
Varises vena baru mungkin dapat muncul setelah adanya episode DVT yang tidak diketahui yang menyebabkan kerusakan pada katup vena. Pada pasien ini adanya faktor risiko yang mendasari untuk terjadinya tromboemboli dan memiliki risiko tinggi untuk terjadi rekurensi.
SEJARAH
Metode untuk mengobati varises vena telah dikembangkan sejak lebih dari 2000 tahun, tetapi sampai saat ini relatif sedikit penekanan pada hasil kosmetik. Beberapa pendekatan pembedahan memberikan hasil yang tidak memuaskan pada pasien dengan varises vena. Prosedur dari Linton yang diperkenalkan pada wakhir tahun 1930 juga menggunakan pendekatan terbuka untuk menghilangkan pembuluh darah yang inkompeten dan memotong subfasia dari vena perforata, prosedur ini juga memberikan hasil kosmetik yang tidak memuaskan.
Prosedur Trendelenburg yang diperkenalkan oleh Friedrich Trendelenburg pada akhir 1800 merupakan suatu cara pengobatan dimana vena safena diligasi dan dikeluarkan melalui insisi yang dibuat di pertengahan paha. Prosedur ini kemudian dimodifikasi oleh Pethes, seorang murid dari Trendelenburg yang menambahkan insisi pada lipatan paha dan dilakukan ligasi pada vena safenofemoral. Walaupun dinamakan dengan prosedur Trendelenburg, sebenarnya ligasi pada paha sudah dilakukan pada awal abad 17.
Beberapa pendekatan baru untuk menstripping Vena Safena Magna (VSM) telah diperkenalkan sejak awal abad ke 20. Stripper dari Mayo adalah sebuah cincin yang dipasangkan ekstraluminal yang memotong pembuluh darah kecil yang memberikan aliran darah ke VSM. Alat dari Babcock adalah sebuah stripper intraluminal dengan kepala berbentuk seperti buah yang digunakan untuk menarik pembuluh vena dan melepaskannya dari tempatnya melekat. Alat dari Keller adalah sebuah kawat internal digunakan untuk menarik pembuluh vena, sekarang alat yang digunakan adalah PIN Stripper (perforation-invagination stripper)
Skleroterapi menggunakan sklerotan kimia sudah populer dilakukan sejak akhir tahun 1800-an. Sejak tahun 1930 diperkenalkan sklerotan modern yang mempunyai efek samping yang minimal dan digunakan bersamaan dengan terapi pembedahan sebagai terapi primer varises vena.
Stab-avulsion menggunakan kaitan phlebectomy sudah digunakan oleh Galen selama abad kedua. Prosedur ini kembali digunakan pada tahun 1960 dan popularitasnya meningkat sampai sekarang.
Teknik terbaru untuk ablasi vena menggunakan energi termal yang dihantarkan ke diding pembuluh vena menggunakan pemanasan laser atau radiofrekuensi (RF). Ini merupakan pendekatan yang disetujuai pada akhir tahun 2000 untuk pengobatan gangguan vena.
ANATOMI
Vena Safena Magna (VSM) berawal dari sisi medial kaki merupakan bagian dari lengkung vena dan mendapat percabangan dari vena profunda pada kaki yang kemudian berjalan keatas sepanjang sisi anterior malleolus medialis. Dari pergelangan kaki, VSM berjalan pada sisi anteromedial betis sampai lutut dan ke bagian paha dimana terletak lebih medial. Dari betis bagian atas sampai pelipatan paha VSM ditutupi oleh sebuah fasia tipis dimana fasia ini berfungsi untuk mencegah agar vena ini tidak berdilatasi secara berlebihan. Normalnya VSM memiliki ukuran normal 3-4 mm pada pertengahan paha.
Sepanjang perjalanannya sejumlah vena peforata mungkin menghubungkan antara VSM dengan sistem vena profunda pada regio femoral, tibia posterior, gastrocnemius, dan vena soleal (gambar 1). Antara pergelangan kaki dan lutut terdapat Cockett perforator, yang merupakan kelompok vena perforata yang menghubungkan sistem vena profunda dengan lengkung vena posterior yang memberikan percabangan ke VSM dari bawah pergelangan kaki dan berakhir di VSM di bawah lutut.
Gambar 1 Vena perforata sepanjang VSM
Selain vena perforata pada beberapa vena superfisial juga memberikan cabang ke VSM. Sedikit di bawah Safenofemoral Junction (SFJ), VSM menerima percabangan dari cabang kutaneus lateral dan medial femoral, vena iliaka sirkumfleksa eksterna, vena epigastrika superfisialis, dan vena pudenda interna. Apabila vena-vena ini mengalami refluks akan bermanifestasi pada paha bagian bawah dan bĂȘtis bagian atas. Akhir dari perjalanan VSM berakhir di vena femoralis bercabangan ini disebut dengan Safenofemoral junction. pada pertemuan antara vena safena magna dengan vena femoralis terdapat katup terakhir dari VSM.
Gambar 2 Percabangan Mayor VSM
MASALAH
Penyakit vena sangat umum terjadi dan kejadiannya meningkat seiring bertambahnya umur, lebih dari setengah dari populasi berumur 65 tahun menderita penyakit ini. Jenis yang paling banyak adalah berupa insufisiensi vena, dan manifestasi yang paling sering terlihat berupa varises vena dan telangiectasia dengan kelainan kulit dan jaringan lunak yang berkembang kemudian. Sebagian besar pasien dengan insufisiensi vena menunjukkan gejala subjektif baik ringan maupun sangat berat. Pengobatan yang dilakukan bertujuan untuk memperbaiki kelainan yang mendasari, menghilangkan atau menutup titik tempat terjadinya refluks untuk mencegah darah vena kembali ke sirkulasi sentral.
EPIDEMIOLOGI
Angka insiden dan prevalensi dari penyakit insufisiensi vena bergantung pada umur dan jenis kelamin pada populasi umum. Varises lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki pada beberapa tingkat umur. Pada penelitian kesehatan komunitas Tecumsech, varises ditemukan 72 % pada wanita berumur 60-69 tahun dan hanya 1 % laki-laki pada umur 20-29 tahun.
Vasises retikuler yang berukuran lebih kecil telah ada sejak awal kehidupan. Hanya sedikit kasus baru yang berkembang setelah kelahiran. Varises trunkal dan jaring telangiektasia relatif jarang ditemukan pada anak-anak dan kemudian muncul seiring bertambahnya umur. Pemeriksaan serial yang dilakukan pada sekitar 500 anak berumur 10-12 tahun dan setelah 4 dan 8 tahun terlihat adanya gejala sebelum vena abnormal terlihat di permukaan kulit. Pertama terlihat adalah vena retikuler abnormal. Vena retikuler ini diikuti perkembangannya setelah beberapa tahun terjadi inkompeten vena perforata yang akhirnya diikuti oleh munculnya varises tunkal.
Angka prevalensi penyakit vena didapatkan lebih tinggi pada Negara barat dan Negara industry dari pada negara kurang berkembang.
ETIOLOGI
Berbagai faktor intrinsik berupa kondisi patologis dan ekstrinsik yaitu faktor lingkungan bergabung menciptakan spektrum yang luas dari penyakit vena. Penyebab terbanyak dari varises vena adalah oleh karena peningkatan tekanan vena superfisialis, namun pada beberapa penderita pembentukan varises vena ini sudah terjadi saat lahir dimana sudah terjadi kelenahan pada dinding pembuluh darah vena walaupun tidak adanya peningkatan tekanan vena. Pada pasien ini juga didapatkan distensi abnormal vena di lengan dan tangan.
Herediter merupakan faktor penting yang mendasari terjadinya kegagalan katup primer, namun faktor genetik spesifik yang bertanggung jawab terhadap terjadi varises masih belum diketahui. Pada penderita yang memiliki riwayat refluks pada safenofemoral junction (tempat dimana v. Safena Magna bergabung dengan v. femoralis kommunis) akan memiliki risiko dua kali lipat. Pada penderita kembar monozigot, sekitar 75 % kasus terjadi pada pasangan kembarnya. angka prevalensi varises vena pada wanita sebesar 43 % sedangakan pada laki-laki sebesar 19 %.
Keadaan tertentu seperti berdiri terlalu lama akan memicu terjadinya peningkatan tekanan hidrostatik dalam vena hal ini akan menyebakan distensi vena kronis dan inkopetensi katup vena sekunder dalam sistem vena superfisialis. Jika katup penghubung vena dalam dengan vena superfisialis di bagian proksimal menjadi inkopeten, maka akan terjadi perpindahan tekanan tinggi dalam vena dalam ke sistem vena superfisialis dan kondisi ini secara progresif menjadi irreversibel dalam waktu singkat.
Setiap orang khususnya wanita rentan menderita varises vena tungkai, hal ini dikarenakan pada wanita secara periodik terjadi distensi dinding dan katup vena akibat pengaruh peningkatan hormon progrestron. Kehamilan meningkatkan kerentangan menderita varises karena pengaruh faktor hormonal dalam sirkulasi yang dihubungkan dengan kehamilan. Hormon ini akan meningkatkan kemampuan distensi dinding vena dan melunakkan daun katup vena. Pada saat bersaan, vena harus mengakomodasikan peningkatan volume darah sirkulasi. Pada akhir kehamilan terjadi penekanan vena cava inferior akibat dari uterus yang membesar. Penekanan pada v. cava inferior selanjutnya akan menyebabkan hipertensi vena dan distensi vena tungkai sekunder. berdasarkan mekanisme tersebut varises vena pada kehamilan mungkin akan menghilang setelah proses kelahiran. Pengobatan pada varises yang sudah ada sebelum kehamilan akan menekan pembentukan varises pada vena yang lain selama kehamilan.
Umur merupakan faktor risiko independen dari varises. Umur tua terjadi atropi pada lamina elastis dari pembuluh darah vena dan terjadi degenerasi lapisan otot polos meninggalkan kelemahan pada vena sehingga meningkatkan kerentanan mengalami dilatasi.
Varises vena juga dapat terjadi apabila penekanan akibat adanya obstruksi. Obstruksi akan menciptakan jalur baypass yang penting dalam aliran darah vena ke sirkulasi sentral, maka dalam keadaan vena yang mengalami varises tidak dianjurkan untuk di ablasi.
PATOFISIOLOGI
Pada keadaan normal katup vena bekerja satu arah dalam mengalirkan darah vena naik keatas dan masuk kedalam. Pertama darah dikumpulkan dalam kapiler vena superfisialis kemudian dialirkan ke pembuluh vena yang lebih besar, akhirnya melewati katup vena ke vena profunda yang kemudian ke sirkulasi sentral menuju jantung dan paru. Vena superfisial terletak suprafasial, sedangkan vena vena profunda terletak di dalam fasia dan otot. Vena perforata mengijinkan adanya aliran darah dari vena superfisial ke vena profunda.
Di dalam kompartemen otot, vena profunda akan mengalirkan darah naik keatas melawan gravitasi dibantu oleh adanya kontraksi otot yang menghasikan suatu mekanisme pompa otot. Pompa ini akan meningkatkan tekanan dalam vena profunda sekitar 5 atm. Tekanan sebesar 5 atm tidak akan menimbulkan distensi pada vena profunda dan selain itu karena vena profunda terletak di dalam fasia yang mencegah distensi berlebihan. Tekanan dalam vena superfisial normalnya sangat rendah, apabila mendapat paparan tekanan tinggi yang berlebihan akan menyebabkan distensi dan perubahan bentuk menjadi berkelok-kelok.
Keadaan lain yang meyebabkan vena berdilatasi dapat dilihat pada pasien dengan dialisis shunt dan pada pasien dengan arterivena malformation spontan. Pada pasien tersebut terjadi peningkatan tekanan dalam pembuluh darah vena yang memberikan respon terhadap vena menjadi melebar dan berkelok-kelok. Pada pasien dengan kelainan herediter berupa kelemahan pada dinding pembuluh darah vena, tekanan vena normal pada pasien ini akan menyebabkan distensi vena vena menjadi berkelok-kelok.
Peningkatan tekanan di dalam lumen paling sering disebabkan oleh terjadinya insufisiensi vena dengan adanya refluks yang melewati katup vena yang inkompeten baik terjadi pada vena profunda maupun pada vena superficial. Peningkatan tekanan vena yang bersifat kronis juga dapat disebabkan oleh adanya obstruksi aliran darah vena. Penyebab obstruksi ini dapat oleh karena thrombosis intravaskular atau akibat adanya penekanan dari luar pembuluh darah. Pada pasien dengan varises oleh karena obstruksi tidak boleh dilakukan ablasi pada varisesnya karena segera menghilang setelah penyebab obstruksi dihilangkan.
Kegagalan katup pada vena superfisal paling umum disebabkan oleh karena peningkatan tekanan di dalam pembuluh darah oleh adanya insufisiensi vena. Penyebab lain yang mungkin dapat memicu kegagalan katup vena yaitu adanya trauma langsung pada vena adanya kelainan katup karena thrombosis. Bila vena superficial ini terpapar dengan adanya tekanan tinggi dalam pembuluh darah , pembuluh vena ini akan mengalami dilatasi yang kemudian terus membesar sampai katup vena satu sama lain tidak dapat saling betemu.
Kegagalan pada satu katup vena akan memicu terjadinya kegagalan pada katup-katup lainnya. Peningkatan tekanan yang berlebihan di dalam sistem vena superfisial akan menyebabkan terjadinya dilatasi vena yang bersifat lokal. Setelah beberapa katup vena mengalami kegagalan, fungsi vena untuk mengalirkan darah ke atas dan ke vena profunda akan mengalami gangguan. Tanpa adanya katup-katup fungsional, aliran darah vena akan mengalir karena adanya gradient tekanan dan gravitasi.
Varises vena pada kehamilan paling sering disebabkan oleh karena adanya perubahan hormonal yang menyebabkan dinding pembuluh darah dan katupnya menjadi lebih lunak dan lentur, namun bila terbentuk bvarises selama kehamilan hal ini memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk menyingkir adanya kemungkinan disebabkan oleh keadaan DVT akut.
Kerusakan yang terjadi akibat insufisiensi vena berhubungan dengan tekanan vena dan volume darah vena yang melewati katup yang inkompeten. Sayangnya penampilan dan ukuran dari varies yang terlihat tidak mencerminkan keadaan volume atau tekanan vena yang sesungguhnya. Vena yang terletak dibawah fasia atau terletak subkutan dapat mengangkut darah dalam jumlah besar tanpa terlihat ke permukaan. Sebaliknya peningkatan tekanan tidak terlalu besar akhirnya dapat menyebabkan dilatasi yang berlebihan.
KLINIS
Pasien dengan varises vena mungkin menunjukkan komplikasi varises akut berupa perdarahan varises, dermatitis, tromboplebitis, selulitis, dan ulkus. pasien mungkin juga datang ke dokter untuk berkonsultasi karena terjadi perburukan dari gejala kronis. Beberapa pasien datang untuk mendapatkan informasi tentang implikasi medis dari varises vena, yang lainnya murni datang karena adanya keluhan kosmetik.
Gejala subjektif biasanya lebih berat pada awal perjalanan penyakit, lebih ringan pada pertengahan dan menjadi berat lagi seiring berjalannya waktu. Beratnya gejala tidak berkorelasi dengan ukuran pelebaran vena yang terlihat atau dengan jumlah volume refluks yang terjadi. Gejala yang muncul umunya berupa kaki terasa berat, nyeri atau kedengan sepanjang vena, gatal, rasa terbakar, keram pada malam hari, edema, perubahan kulit dan kesemutan. Nyeri biasanya tidak terlalu berat namun dirasakan terus-menerus dan memberat setelah berdiri terlalu lama.
Nyeri yang disebabkan oleh insufisiensi vena bisanya membaik bila beraktifitas seperti berjalan atau dengan mengangkat tungkai, sebaliknya nyeri pada insufisiensi arteri akan bertambah berat bila berjalan dan tungkai diangkat. Neri dan gejala lainnya mungkin memberat pada saat siklus menstruasi, kehamilan, dank arena respon terapi hormonal eksogen (kontrsepsi oral). Pada sedikit wanita merasakan nyeri setelah melakukan hubungan seksual.
Anamnesis yang terarah seharusnya meliputi hal-hal berikut ini :
1. Riwayat insufisiensi vena ( kapan onset terlihatnya pembuluh darah abnormal, onset dari gejala yang muncul, penyakit vena sebelumnya, adanya riwayat menderita varises sebelumnya)
2. Faktor predisposisi (keturunan, trauma pada tungkai, pekerjaan yang membutuhkan posisis tubuh berdiri yang terlalu lama, supporter olah raga)
3. Riwayat edema (onset, predisposisi, lokasi edema, intensitas, jenis edema, perubahan setelah beristirahat pada malam hari)
4. Riwayat pengobatan penyakit vena sebelumnya (obat, injeksi, pembedahan, kompresi)
5. Riwayat menderita tromboplebitis vena superficial atau vena profunda
6. Riwayat menderi penyakit vaskuler lainnya (penyakit arteri perifer, penyakit arteri coronaria, lymphadema, lymphangitis)
7. Riwayat keluarga
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik sistem vena penuh dengan kesulitan karena sebagian besar sistem vena profunda tidak dapat dilakukan pemeriksaan langsung seperti inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi. Pada sebagian besar area tubuh, pemeriksaan pada system vena superfisial harus mencerminkan keadaan sistem vena profunda secara tidak langsung.
Pemeriksaan vena dapat dilakukan secara bertahap melalui inspeksi, palpasi, perkusi, dan pemeriksaan menggunakan Doppler. Hasil pemeriksaan tersebut nantinya dibuatkan peta mengenai gambaran keadaan vena yang di terjemahkan ke dalam bentuk gambar. Gambar ini akan memberikan informasi mengenai penatalaksaan selanjutnya.
Inspeksi
Inspeksi tungkai dilakukan dari distal ke proksimal dari depan ke belakang. Region perineum, pubis, dan dinding abdomen juga dilakukan inspeksi. Pada inspeksi juga dapat dilihat adanya ulserasi, telangiektasi, sianosis akral, eksema, brow spot, dermatitis, angiomata, varises vena prominent, jaringan parut karena luka operasi, atau riwayat injeksi sklerotan sebelumnya. Setiap lesi yang terlihat seharusnya dilakukan pengukuran dan didokumentasikan berupa pencitraan. Vena normalnya terlihat distensi hanya pada kaki dan pergelangan kaki. Pelebaran vena superfisial yang terlihat pada region lainnya pada tungkai biasanya merupakan suatu kelainan. Pada seseorang yang mempunyai kulit yang tipis vena akan terlihat lebih jelas.
Stasis aliran darah vena yang bersifat kronis terutama jika berlokasi pada sisi medial pergelangan kaki dan tungkai menunjukkan gejala seperti perubahan struktur kulit. Ulkus dapat terjadi dan sulit untuk sembuh, bila ulkus berlokasi pada sisi media tungkai maka hal ini disebabkan oleh adanya insufusiensi vena. Insufisiensi arteri dan trauma akan menunjukkan gejala berupa ulkus yang berloksi pada sisi lateral.
Palpasi
Palapsi merupakan bagian penting pada pemeriksaan vena. Seluruh permukaan kulit dilakukan palpasi dengan jari tangan untuk mengetahui adanya dilatasi vena walaupun tidak terlihat ke permukaan kulit. Palpasi membantu untuk menemukan keadaan vena yang normal dan abnormal. Setelah dilakukan perabaan pada kulit, dapat diidentifikasi adanya kelainan vena superfisial. Penekanan yang lebih dalam dapat dilakukan untuk mengetahui keadaan vena profunda.
Palpasi diawali dari sisi permukaan anteromedial untuk menilai keadaan SVM kemudian dilanjutkan pada sisi lateral diraba apakah ada varises dari vena nonsafena yang merupakan cabang kolateral dari VSM, selanjutnya dilakukan palpasi pada permukaan posterior untuk meinail keadaan VSP. Selain pemeriksaan vena, dilakukan juga palpasi denyut arteri distal dan proksimal untuk mengetahui adanya insufisiensi arteri dengan menghitung indeks ankle-brachial. Nyeri pada saat palpasi kemungkinan adanya suatu penebalan, pengerasan, thrombosis vena. Empat puluh persen DVT didapatkan pada palpasi vena superfisialis yang mengalami thrombosis.
Perkusi
Perkusi dilakukan untuk mengetahui kedaan katup vena superficial. Caranya dengan mengetok vena bagian distal dan dirasakan adanya gelombang yang menjalar sepanjang vena di bagian proksimal. Katup yang terbuka atau inkopeten pada pemeriksaan perkusi akan dirasakan adanya gelombang tersebut.
Manuver Perthes
Manuver Perthes adalah sebuah teknik untuk membedakan antara aliran darah retrograde dengan aliran darah antegrade. Aliran antergrade dalam system vena yang mengalami varises menunjukkan suatu jalur bypass karena adanya obstruksi vena profunda. Hal ini penting karena apabila aliran darah pada vena profunda tidak lancar, aliran bypass ini penting untuk menjaga volume aliran darah balik vena ke jantung sehingga tidak memerlukan terapi pembedahan maupun skeroterapi.
Untuk melakukan manuver ini pertama dipasang sebuah Penrose tourniquet atau diikat di bagian proksimal tungkai yang mengalami varises. Pemasangan tourniquet ini bertujuan untuk menekan vena superficial saja. Selanjutnya pasien disuruh untuk berjalan atau berdiri sambil menggerakkan pergelangan kaki agar sistem pompa otot menjadi aktif. Pada keadaan normal aktifitas pompa otot ini akan menyebabkan darah dalam vena yang mengalami varises menjadi berkurang, namun adanya obstruksi pada vena profunda akan mengakibatkan vena superficial menjadi lebih lebar dan distesi.
Perthes positif apabila varises menjadi lebih lebar dan kemudian pasien diposisikan dengan tungkai diangkat (test Linton) dengan tourniquet terpasang. Obstruksi pada vena profunda ditemukan apabila setelah tungkai diangkat, vena yang melebar tidak dapat kembali ke ukuran semula.
Tes Trendelenburg
Tes Trendelenburg sering dapat membedakan antara pasien dengan refluks vena superficial dengan pasien dengan inkopetensi katup vena profunda. Tes ini dilakukan dengan cara mengangkat tungkai dimana sebelumnya dilakukan pengikatan pada paha sampai vena yang mengalami varises kolaps. Kemudian pasien disuruh untuk berdiri dengan ikatan tetap tidak dilepaskan. Interpretasinya adalah apabila varises yang tadinya telah kolaps tetap kolaps atau melebar secara perlahan-lahan berarti adanya suatu inkopenten pada vena superfisal, namun apabila vena tersebut terisi atau melebar dengan cepat adannya inkopensi pada katup vena yang lebih tinggi atau adanya kelainan katup lainnya.
Auskultasi menggunakan Doppler
Pemeriksaan menggunakan Doppler digunakan untuk mengetahui arah aliran darah vena yang mengalmi varises, baik itu aliran retrograde, antegrade, atau aliran dari mana atau ke mana. Probe dari dopple ini diletakkan pada vena kemudian dilakukan penekanan pada vena disisi lainnya. Penekanan akan menyebabkan adanya aliran sesuai dengan arah dari katup vena yang kemudian menyebabkan adanya perubahan suara yang ditangkap oleh probe Doppler. Pelepasan dari penekanan vena tadi akan menyebabkan aliran berlawanan arah akut. Normalnya bila katup berfungsi normal tidak akan ada aliran berlawanan arah katup saat penekanan dilepaskan, akhirnya tidak aka nada suara yang terdengar dari Doppler.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium saat ini tidak bermanfaat dalam menegakkan diagnosis atau terapi varises vena.
Pemeriksaan Imaging
Tujuan dilakukannya pemeriksaan ini adalah untuk mengidentifikasi dan memetakan seluruh area yang mengalami obstruksi dan refluks dalam system vena superficial dan system vena profunda. Pemeriksaan yang dapat dialkukan yaitu venografi dengan kontras, MRI, dan USG color-flow dupleks. USG dupleks merupakan pemeriksaan imaging standar yang digunakan untuk diagnosis sindrom insufisiensi vasirses dan untuk perencanaan terapi serta pemetaan preoperasi. Color-flow USG (USG tripleks) digunakan untuk mengetahui keadaan aliran darah dalam vena menggunakan pewarnaan yang berbeda. Pemeriksaan yang paling sensitive dan spesifik yaitu menggunakan Magnetic Resonance venography (MRV) digunakan untuk pemeriksaan kelainan pada sistem vena profunda dan vena superficial pada tungkai bawah dan pelvis. MRV juga dapat mengetahui adanya kelainan nonvaskuler yang menyebabkan nyeri dan edema pada tungkai. Venografi dengan kontras merupakan teknik pemeriksaan invasive. Saat ini venografi sudah mulai ditinggalkan dan digantikan dengan pemeriksaan USG dupleks sebagai pemeriksaan rutin penyakit vena. Sekitar 15 % pasien yang dilakukan pemeriksaan venografi ditemukan adanya DVT dan pembentukan trombosisi baru setelah pemberian kontras.
PENATALAKSANAAN
Terapi Non Operatif
1. Kaus Kaki Kompresi (Stocking)
Kaus kaki kompresi membantu memperbaiki gejala dan keadaan hemodinamik pasien dengan varises vena dan mengilangkan edema. Kaus kaki dengan tekanan 20-30 mmHg (grade II) memberikan hasil yang maksimal. Pada penelitian didapatkan sekitar 37-47 % pasien yang menggunakan kaus kaki ini selama 1 tahun setelah menderita DVT mencegah terjadi ulkus pada kaki. Kekurangan menggunakan kaos kaki ini adalah dari segi harga yang relatif mahal, kurangnya pendidikan pasien, dan kosmetik yang kurang baik. Pada penelitian randomize controlled trial compression menggunakan stoking (grade I dan II) dibandingkan dengan kontrol penggunaan kaus kaki ini mengurangi terjadinya refluks VSM dan mengurangi keluhan dan gejala varises pada wanita hamil namun tidak ada perbedaan terhadapa pembentukan varises vena.
2. Skleroterapi
Skleroterapi dilakukan dengan menyuntikkan substansi sklerotan kedalam pembuluh darah yang abnormal sehingga terjadi destruksi endotel yang diikuti dengan pembentukan jaringan fibrotik. Sklerotan yang digunakan saat yaitu ferric chloride, salin hipertonik, polidocanol, iodine gliserin, dan sodium tetradecyl sulphate, namun untuk terapi varises vena safena paling umum digunakan saat ini adalah sodium tetradecyl sulphate dan polidacanol. Kedua bahan ini dipilih karena sedikit menimbulkan reaksi alergi, efek pada perubahan warna kulit (penumpukan hemosiderin) yang rendah, dan jarang menimbulkan kerusakan jaringan apabila terjadi ekstravasasi ke jaringan.
Terapi menggunakan kombinasi skleroterapi dengan ligasi safenofemoral junction sangat pupuler dilakukan pada tahun 1960an dan 1970an, terapi kombinasi ini diberikan setelah dilakukan pembedahan konvensional untuk menghilangkan vaarises residual setelah operasi. Sebuah penelitian yang membandingkan antara kombinasi skleroterapi dengan ligasi SFJ dibandingkan kombinas ligasi SFJ dengan stripping didapatkan angka rekurensi klinis dan rekuresnsi terjadinya refluks SFJ yang lebih tinggi pada kelompok yang menggunakan skleroterapi.
Sklerotan dibagi berdasarkan jenis substansinya yaitu yang berbentuk foam dan benbentuk liquid. Pada sklerotan jenis foam memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan jenis liquid yaitu dosis yang lebih sedikit, lebih efektif dan menimbulkan komplikasi yang lebih rendah. Pada sebuah penelitian non-randomised membandingkan antara sklerotan jenis foam dengan liquid didapatkan angka oklusi pembuluh darah yang lebih tinggi (67 % dengan 17 % dalam 1 tahun) dan angka gejala klinis yang lebih rendah (8,1 % dan 25 %) pada pasien yang menggunakan sklerotan foam. Tidak ada komplikasi ditemukan pada penelitian ini. Penelitian randomized trial lebih lanjut yang membandingkan antara polidocalol foam dengan polidocanol liquid didapatkan dalam terapi VSM inkompen (diameter < 8 mm) didapatkan keberhasilan dalam mengablasi refluks VSM lebih tinggi pada polidocanol jenis foam ( 84% lawan 14 %).
Terapi Minimal Invasif
1. Radiofrekuensi ablasi (RF)
Radiofrekuensi adalah teknik ablasi vena menggunakan kateter radiofrekuensi yang diletakkan di dalam vena untuk menghangatkan dinding pembuluh darah dan jaringan sekitar pembuluh darah. Pemanasan ini menyebakan denaturasi protein, kontraksi kolagen dan penutupan vena. Kateter dimasukkan sampai ujung aktif kateter berada sedikit sebelah distal SFJ yang dikonfirmasikan dengan pemeriksaan USG. Ujung kateter menempel pada endotel vena, kemusian energy radiofrekuensi dihantarkan melalui kateter logam untuk memanaskan pembuluh darah dan jaringan sekitarnya. Jumlah energy yang diberikan dimonitor melalui sensor termal yang diletakkan di dalam pembuluh darah. Sensor ini berfungsi mngatur suhu yang sesui agar ablasi endotel terjadi.
Penelitian multi-center didapat 85 % VSM mengalami obliterasi pada 2 tahun. Dua penelitian randomized-controlled trial yang membandingkan ablasi radiofrekuensi dengan pembedahan konvensional. Penelitian pertama Lurie et al melaporkan hasil dari EVOLVeS Study yang merupakan percobaan multi-center dengan 81 pasien yang dilakukan radiofrekuensi ablasi atau ligasi SFJ, Stripping VSM dan phlebectomy. Hasil yang didapat 81 % oklusi VSM pada kelompok RF ablasi dengan lama waktu perwatan lebih singkat dari pada kelompok pembedahan ( 74 SD 10 mnt Vs 89 SD 12 mnt), lebih cepat pada RF ablasi (1,39 Vs 6,65 hari kerja). Walaupun komplikasi yang sitimbulkan pada RF ablasi lebih sedikit, komplikasi pasca terapi berupa parestesia lebih banyak pada kelompok RF ablasi ( 16% dibandingkan 6 % pada kelompok pembedahan, tetapi tidak signifikan). Interpretasi hasil study EVOLVeS sulit dilakukan karena berbagai variasi teknik anestesi dan prosedur yang dilakukan pada berbagai Center. Selain itu jumlah sample yang kecil tidak cukup kuat untuk menampilkan signifikansi perbedaan antara teknik yang dilakukan.
Penelitian kedua , Rautio randomized pada 28 pasien yang mendapatkan RF ablasi atau pembedahan konvensional. Kedua kelompok ini dilakukan di bawah anestesi umum. Hasil yang didapat penurunan rata-rata VCSS (venous clinical severity score). Pada RF ablasi didapat score VCSS 5,1 (SD=1,5) dan pada pembedahan didapat 4,4 (SD=1), nyeri pasca pembedahan secara signifikan lebih rendah pada RF ablasi dibandingkan kelompok pembedahan konvensional, komplikasi parestesia didapatkan 13 % pada kelompok RF dan 23 % pada pembedahan, Thomboplebitis sistemik didapat 20 % pada kelompok RF. Biaya pengobatan lebih besar pada kelompo RF ablasi dibandingkan dengan kelompok pembedahan konvensional.
Pada beberapa penelitian individual didapatkan komplikasi yang lebih rendah pada RF ablasi. Safena neuritis 3-49%, kulit terbakar 2-7 %, hematoma dan phlebitis. DVT dilaporkan sekitar 1 % dan 0,3 % terjadi emboli pulmonum.
2. Endovenous Laser Therapy (EVLT)
Salah satu pilihan terapi varises vena yang minimal invasive adalah dengan Endovenous laset therapy (EVLT). Keuntungan yang didapat menggunakan pilihan terapi ini adalah dapat dilakukan pada pasien poliklinis di bawah anestesi local. EVLT yang secara luas digunakan menggunakan daya sebesar 10 14 watt. Prosedurnya EVLT menggunakan fibre laser yang dimasukkan ke distal VSM sampai SFJ dibawah control USG.
Prosedur yang dilakukan pertama-tama dialkuakn anestesi local perivena dengan jalan memberikan infiltrasi di sekitar pembuluh darah pepanjang VSM. Tujuannya selain memberikan efek analgesia juga memberikan efek penekanan pada vena agar dinding vena beraposisi dengan fibred an berperan sebagai “heat sink” mencegah kerusakan jaringan local.
EVLT tidak menyebabkan vena segera menjadi mengecil bila dibandingkan dengan apabila dilakukan FR ablation, tetapi vena akan mengecil secara gradual beberapa minggu sampai tidak tampak setelah 6 bulan dengan pemerikasaan USG, kemudia diikuti dengan kerusakan endotel, nekrosis koagulatif, penyempitan dan thrombosis vena.
Pada sebuah penelitian observasional, VSM mengecil 94 -99 % dengan perbaikan penampilan varises superficial dan menurunkan gejala yang timbul. Dilaporkan oleh Min et al, sekitar 500 pasien yang di follow-up selam 3 tahun didapatkan abalsi VSM sebesar 98 % pada 1 bulan dan 93 % pada 2 tahun.
Komplikasi utama yang muncul seperti bruising (24 %) dan thomboplebitis (5%), tetapi tidak didapatkan adanya DVT, perasaan terbakar atau parestesia. Debandingkan dengan RF abalaton absennya komplikasi DVT adalah kemungkinan karena duarsi terapi yang lebih singkat, kontak dengan kateter trombogenik yang lebih singkat, dan suhu yang digunakan lebih tinggi.
Terapi Pembedahan
1. Ambualtory phlebectomy (Stab Avulsion)
Teknik yang digunakan adalah teknik Stab-avulsion dengan menghilangkan segmen varises yang pendek dan vena retikular dengan jalan melakukan insisi ukuran kecil dan menggunakan kaitan khusus yang dibuat untuk tujuan ini, prosedur ini dapat digunakan untuk menghilangkan kelompok varises residual setelah dilakukan sphenectomy.
Mikroinsisi dibuat diatas pembuluh darah menggunakan pisau kecil atau jarum yang berukuran besar. Selanjutnya kaitan phlebectomy dimasukkan ke dalam dan vena dicapai melalui mikroinsisi ini. Menggunakan kaitan kemudian dilakukan traksi pada vena, bagian vena yang panjang dipisahkan dari perlekatan sekitarnya.. bila vena tidak dapat ditarik apat dilakukan insuisi di tempat lain dan proses diulangi dari awal sampai keseluruhan vena.
2. Saphectomy
Teknik saphenektomi yang paling popular saat ini adalah teknik menggunakan peralatan stripping internal dan teknik invaginasi dengan jalan membalik pembuluh darah dan menariknya menggunakan traksi endovenous, teknik tersebut dapat menurunkan terjadinya cedera pada struktur di sekitarnya.Gambar 5-6. Untuk menghilangkan VSM, sebuah insisi dibuat 2-3 cm sebelah medial lipatan paha untuk melihat SFJ.
Sebelum melakukan stripping pada VSM, semua percabangan dari SFJ harus diidentifikasi dan dilakukan ligasi untuk memilinimalkan terjadinya rekurensi. Setelah ligasi dan pemisahan Junction, peralatan stripping dimasukkan ke dalam VSM di lipatan paha didorong sampai level cruris selnajutnya alat strippeer dikeluarkan melalui insisi yang dibuat (5 mm ataiu lebih kecil) sekitar 1 cm dari tuberosity tibia pada lutut. Kemudia head stripper dipasangkan pada lipatan paha dan dikunci pada ujung proksimal vena. Pembuluh darah kemudian ditarik dan dilipat ke dalam lumen vena sepanjang pembuluh darah sampai pintu keluar yang dibuat sebelumnya di bagian distal. Jika di perlukan dapat diberikan gaas yang berisi efinefrin atau dilakukan ligasi untuk tujuan hemostasis setelah dilakukan stripping.
Gambar 3 Ligasi Safenofemoral Junction
Teknik lama dalam stripping vena sudah ditinggalkan karena tingginya insiden komplikaasi yang terjasi setelah dilakukan stripping, komplikasi ini meliputi kerusakan pada nervus safena, yang berlokasi sangat dekat dengan vena pada regio lutut.
Komplikasi banyak terjadi pada bila VSP dikeluarkan, karena anatomi dan risiko terjadinya cedera pada vena poplitea dan nerevus peroneal lebih besar. Safenopopliteal junction harus diidentifikasi dengan pemeriksaan dupleks USG sebelum dilakukan deseksi, dan visualisasi dari Safeno popleteal jungtion secara langsung yang adekuat sangat pentingdilakukan. Setelah dilakukan ligasi dan pemisahan junction, sebiauh peralatan stripping dimasukkan ke dalam vena sampai distal cruris dan dikeluarkan melalui pintu yang dibuat dengan insisi (2 -4 mm). Selanjutnya stripper dikunci di proksimal vena dan dilakukan invaginasi dan ditarik dari daerah lutut sampai daerah pergelnagn kaki.
Gambar 4 Perforation-invaginasi (PIN) stripping
Gambar 5 Penguncian PIN Strippng
Modifikasi Teknik Pembedahan
1. Ambulatory Conservative Haemodynamic Management (ACHM or CHIVA)
Conservative haemodynamic surgery for varicose veins (CHIVA) adalah sebuah teknik pembedahan fisiologis meliputi identifikasi mengugunakan ultrasound dupleks dan ligasi refluk. Vena perforata dan vena safena dipersiapkan dan tidak dilakukan tindakan phlebektomi. Walaupun terdapat peningkatan hemodinamik dan morbilitas yang rendah namun agka rekurensi masih cukup tingg sebesar 35 % pada 3 tahun. Namun pada sebuah studi yang membandingkan antara ligasi SFJ, stripping, dan phlebektomi dilaporkan hasil yang sama pada 3 tahun tapi dengan kerusakan pada nervus cutaneus yang lebih sedikit pada kelompok CHIVA. Prosedur ini belum secara luas digunakan karena teknik yang relatif lebih rumit.
2. Transilluminated Powered Phlebectomy Ablation of Varicosities (TriVexe)
Phelebektomi dengan transiluuminasi merupakan metode unutk ablasi varises yang lebih cepat dan reliabel. Teknik memungkinkan dilakukan insisi dan menimbulkan komplikasi yang lebih sedikit. Beberapa studi melaporkan peningkatan biaya operasi, peningkatan insiden terjadinya hematome, dan parestesia pada pasien dengan TriVex. Walupun demikian teknik ini mungkin bermanfaan pada pembedahan dengan varises yang rekuren dimana didapatkan jaringan parut perivaskular dan kekkakuan pembuluh vena yang menurunkan efikasi bila dilakukan stab avulsion konvensional
3. Subfascial Endoscopic Perforator Ligation (SEPS) and The Linton Procedure
Peran dari vena perforata dalam etiologi varises vena masih kontroversi. Bagaimanapun ukuran dan persentase vena perforata yang mengalami inkompenten di sisi medial cruris menunjukkna hubungan dengan severitas penyakit insufisiensi vena kronis. Beberapa ahli bedah vaskurel berpendapat ligasi pada vena perforata merupakan tindakan yang tidak rutin dilakukan.
Bila ligasi vena perforata diperlukan untuk mengisolasi vena perforata yang inkompeten, tindakan ligasi endoskopi lebih disarankan dibandingkan dengan operasi terbuka untuk menghindari masalah dengan penyembuhan luka operasi. Atau bila dilakukan operasi terbuka, penentuan vena perforata melalui pemeriksaan ultraound mungkin dapat mengatasi masalah penyembuhan luka operasi bila dibandingkan dengan prosedur Linton tradisional
Gambar 6 Prosedur Linton
4. External Valvular Stents
Penggunaan valvular stent eksternal diperkenalkan oleh Lane merupakan sebuah solusi yang fisiologis dalam mengatasi refluks vena dengan mempertahankan VSM. Dia medriskripsikan pada 1500 pasien walaupun ourcome data hanya tersedia pada 107 pasien saja menunjukkan setelah folow-up selama 57 bulan , 90 % didapatakan dengan SFJ yang kompeten dengan rara-rata penuruanan diameter VSM dari 7,6 menjasi 4,8 mm. Rekurensi secara klinis menurun. Sayangnya pasien dengan VSM yang berdiameter 10-11 mm atau dengan varises yang berkelok-kelok sepanjang VSF diekslusi dan teknik ini hanya dapat diaplikasikan pada 34 % pasien saja. Pasien dengan valvuloplasty didapatkan tingkat morbiditas yang lebih rendah dibandingkan bila dialakukan stripping. Komplikasi yang terjasi lebih jarang dan infeksi yang terjasi karena pelepasa cuff hanya 0,3 % kasus. Teknik mungkin dapat dipilih pada pasien dengan varises vena minor, namun belum ada penelitian yang membandingkan dengan teknik lain dan teknik ini belum secara luas digunakan.
5. Endovenous Diathermy
Teknik ini telah dialakukan oleh beberapa ahli bedah pada than 1960-1970-an. Tidak ada bukti keuntungan yang didapat dan ini meningkatkan ririko terjadinya cidera termal. Studi terbaru dikatakan teknik ini mungkin dapat digunakan untuk mengablasi percangan VSM yang inkompeten dengan tetap mempertahankan VSM setelah dilakuakan ligasi Safeno-femoral walupun tidak ada folow up yang dilakuakan selanjutnya dan sebagian besar pasien memerlukan terapi tambahan seperti skloroterapi.
Cost-effectiveness
Tidak ada studi yang membandingkan cost-efektif pada berbagai metode-metode dalam terapi varises vena kecuali studi yang dilakukan oleh Rautio yang membandingkan cost analisis antara VNUS dengan pembedahan. Logikanya , terapi mengguanakan kaus kaki (stocking) dan skleroterapi merupakan terapi yang memerlukan biaya yang paling rendah namun denag hasil yang kurang baik daripada pembedahan.
Untuk terapi minimal invasif peningkatan biaya berasal dari biaya tambahan dari penggunaan kateter dan sumber tenaga dan prosedur yang dilakukan di dalam ruang operasi serta penggunaan general dan regional anestesi dibandingkan dengan pembedahan konvensional. Bagaimanapun bila EVLT dilakukan pada pasien poliklinis dengan follow-up skleroterapi , memungkinkan terapi ini menjadi lebih cost efektif dibandingkan pembedahan.
Tabel 1. Pilihan Terapi untuk Varises Vena
Tabel diatas menujukkan pilihan terapi yang dapat digunakan dapam penatalaksanaan varises vena dan penggunaan anestesi yang diperlukan untuk menunjang prosedur terapi yang dilakukan.
KOMPLIKASI
Lima sampai tujuh persen kasus mengalami cedera pada nervus cutaneus, keadaan ini sering bersifat sementara namun dapat bersifat permanen. Inform konsen mengenai komplikasi ini diperlukan sebelum dilakukan tindakan terapi. NHSLA melaporkan komplikasi akibat cedera pada saraf pada 12 pasien dengan drop foot setelah dilakukan ligasi safeno-popliteal. Komplikasi berupa terjepitnya vena dan arteri femoral juga tidak dapat untuk dihindari.
Hematome dan infeksi pada luka relatif sering terjadi ( sampai dengan 10 %), dan terjadi gangguan dalam aktivitas dan bekerja sehari-hari. Thromboembolism berpotensi terjadi pada pembedahan varises vena, tetapi belum ada bukti yang menujukkan risiko ini meningkat bila dilakukan pembedahan. Sebagian besar ahli bedah vaskuler melakukan profilaksisi agar tidak terjadi komplikasi thomboemboli ini. Tabel 2 menunjukkan angka komplikasi yang terjadi pada berbagai prosedur yang digunakan dalam terapi varises vena.
Tabel 2. Tingkat Komplikasi yang Terjadi Pada Setiap Prosedur Terapi
Tabel 2 Angka komplikasi ynag terjadi pada setiap prosedur
Rekurensi Varises Vena
Perkiraan tingkat rekurensi bervariasi tergantung pada lama follow-up, definisi dari rekurensi itu sendiri dan metode terapi primer yang dilakukan. Dapat dilihat pada tabel 3, terdapat perbedaan tingakt rekurensi bila dilahat dari pemeriksaan dupleks ultrasound dengan hanya melakukan pemeriksaan klinis
Tabel 3 Tingkat Rekurensi yang Terjadi Pada Terapi yang Berbeda
PROGNOSIS
Pasien dengan refluks vena yang signifikan memiliki risiko tinggi terjadinya ulkus varises yang akan sulit di terapi secara efektif. Pada pasien dengan komplikasi perdarahan dan thomboemboli memberikan prognosis yang kurang baik dalam terapi varises vena. Dengan terapi yang tepat akan memberikan hasil yang baik dan progesifitas penyakit akan berhenti dan prognosis akan menjdi lebih baik
RINGKASAN
Varises vena merupakan suatu kelainan pada pembuluh darah vena yang terjadi akibat peningkatana tekanan di dalam vena dan terjadinya kegagalan ataau inkompetensi dari katup vena dalam mengalirkan darah. Diagnosis varises ini dapat ditegakkan melalui gejala-gejala klinis yang muncul serta dikonfirmasi melalui pemeriksaan penunjang untuk lebih memastikan diagnosis. Gejala yang sering muncul yaitu kaki terasa berat, nyeri atau kedengan sepanjang vena, gatal, rasa terbakar, keram pada malam hari, edema, perubahan kulit dan kesemutan. Gejala tersebut akan bertambah berat bila pasien berdiri terlalu lama. Pemeriksaan fisik yang dilakukan berupa inspeksi pada kulit untuk melihat adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada kulit dan juga melihat apakaha terdapat pelebaran vena superfisialis, palapsi dilakukan pada seluruh permukaan kulit untuk menilai pelebaran vena dan apakah didapatkan adanya nyeri tekan. Perkusi juga dilakukan untuk menilai keadaan katup vena. Pemeriksaan lain juga diperlukan untuk menegakkan diagnosis vasrises yantiu dengan melakukan manuver Perthes atau manuver Trendelenburg. Pemeriksaan yang diperlukan dapat dilakukan auskultasi menggunakan Doppler, pemerksaan USG dan MRI
Penatalaksanan varises dapat berupa terapi non-operatif dan terapi operatif. Terapi non-opertaif sangat mudah dilakukan dan memerlukan biaya yang relatif lebih murah dari pada terapi operatif namun angka rekurensinya masih cukup tinggi. Terapi non-operatif yang saat ini sering dilakukan adalah dengan menggunakan stocking kompresi, skleroterapi, terapi minimal invasif. Terapi operatif biasanya memberikan hasil yang lebih baik dengan angka rekurensi yang lebih rendah dari pada terapi non-operatif. Kekurangannya adalah biaya yang relative lebih mahal , hal ini dikarenakan terapi operatif dilakukan dibawah anestesi umum atau regional dan dilakukan di dalam ruang operasi. Baik terapi non-operatif maupun terapi operatif dapat menimbulkan komlikasi akibat dari terapi yang dilakukan.
Prognosis penyakit ini baik bila tidak adanya komplikasi seperti perdarahan, thromboemboli, dan refluks yang terjadi tidak terlalu berat. Terapi yang tepat dan adekuat akan menurunkan progresifitas penyakit varises vena.
DAFTAR PUSTAKA
Beale,Gough. Treatment Options for Primary Varicose Veins-A Review. Eur J Vasc Endovasc Surg 30, 83-95 (2005)
Craig F.Varicoe Veins.Available at : http://www.emedicine.com/med/topic2788.htm. Acceses : April 9, 2008 Last Update : Oktober 1, 2004

Tidak ada komentar: